JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menegaskan,
daerah perbatasan membutuhkan dukungan peraturan presiden (perpes)
khusus yang mengatur tentang pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat di
kawasan itu. Kebutuhan konsumsi yang diperlukan, antara lain gula, gas
(elpiji), beras, dan minyak goreng.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Ekonomi Kawasan Perbatasan Endang Kesumayadi mengatakan, selama ini disparitas harga Jawa dan daerah perbatasan sangat jauh berbeda, sehingga kecenderungan barang konsumsi banyak diselundupkan. Padahal, jika dikelola dengan baik dari ilegal menjadi legal maka akan menghasilkan pajak impor lebih besar.
“Saat ini masih terjadi potential lost kurang lebih Rp1 triliun per tahun, ini kan disayangkan," kata Endang dalam siaran persnya Jakarta, Rabu (6/3/2013).
Endang menjelaskan, potential lost itu tidak akan terjadi apabila pemerintah bisa mengatur tata niaga khusus yang lebih jelas bagi kawasan itu. Harga kebutuhan pokok dari Indonesia tidak dapat terserap dengan baik distribusinya hingga ke kawasan perbatasan. Hal ini mengakibatkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi hingga beberapa kali lipat jika dibandingkan dengan harga di Pulau Jawa.
Saat ini, menurut Endang, harga gula kristal putih bisa mencapai Rp22.000 per kilogram (kg). Sementara harga gas elpiji bisa mencapai Rp120.000 hingga Rp200.000.
“Jika pelaku usaha daerah bisa dipermudah untuk melakukan impor, dengan demikian akan mampu mengatasi masalah penyelundupan bahan-bahan pokok dari negara tetangga yang harganya bisa lebih murah,” tambahnya.
Menurut dia, masalah seperti itu akan terus berlanjut jika pemerintah justru membiarkannya. Oleh karenanya, pihaknya mengusulkan agar pemerintah bisa memberlakukan aturan impor yang jelas, sehingga penyelundupan bisa dihindari dan menjadikan hal yang tadinya ilegal menjadi legal. “Jika bisa seperti itu, justru ada pemasukan dengan diberlakukannya pajak,” ungkapnya.
Endang juga menilai, Kemendag, Kementan, dan Kemenkoperekonomian, masih menghambat kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan. Ketiga Kementrian tersebut perlu legowo menyerahkan regulasi kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan kepada BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan).
“Pengalaman selama ini ketiga kementrian tersebut kurang fleksibel sehingga menimbulkan kesan sulitnya birokrasi dan cenderung saling lempar tanggung jawab untuk melayani kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan. Jika semua tidak bisa memperhatikan dan bersinggungan, maka serahkan kepada otoritas yang juga berwenang dan fokus ke sana,” tutupnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Ekonomi Kawasan Perbatasan Endang Kesumayadi mengatakan, selama ini disparitas harga Jawa dan daerah perbatasan sangat jauh berbeda, sehingga kecenderungan barang konsumsi banyak diselundupkan. Padahal, jika dikelola dengan baik dari ilegal menjadi legal maka akan menghasilkan pajak impor lebih besar.
“Saat ini masih terjadi potential lost kurang lebih Rp1 triliun per tahun, ini kan disayangkan," kata Endang dalam siaran persnya Jakarta, Rabu (6/3/2013).
Endang menjelaskan, potential lost itu tidak akan terjadi apabila pemerintah bisa mengatur tata niaga khusus yang lebih jelas bagi kawasan itu. Harga kebutuhan pokok dari Indonesia tidak dapat terserap dengan baik distribusinya hingga ke kawasan perbatasan. Hal ini mengakibatkan harga-harga bahan pokok melambung tinggi hingga beberapa kali lipat jika dibandingkan dengan harga di Pulau Jawa.
Saat ini, menurut Endang, harga gula kristal putih bisa mencapai Rp22.000 per kilogram (kg). Sementara harga gas elpiji bisa mencapai Rp120.000 hingga Rp200.000.
“Jika pelaku usaha daerah bisa dipermudah untuk melakukan impor, dengan demikian akan mampu mengatasi masalah penyelundupan bahan-bahan pokok dari negara tetangga yang harganya bisa lebih murah,” tambahnya.
Menurut dia, masalah seperti itu akan terus berlanjut jika pemerintah justru membiarkannya. Oleh karenanya, pihaknya mengusulkan agar pemerintah bisa memberlakukan aturan impor yang jelas, sehingga penyelundupan bisa dihindari dan menjadikan hal yang tadinya ilegal menjadi legal. “Jika bisa seperti itu, justru ada pemasukan dengan diberlakukannya pajak,” ungkapnya.
Endang juga menilai, Kemendag, Kementan, dan Kemenkoperekonomian, masih menghambat kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan. Ketiga Kementrian tersebut perlu legowo menyerahkan regulasi kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan kepada BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan).
“Pengalaman selama ini ketiga kementrian tersebut kurang fleksibel sehingga menimbulkan kesan sulitnya birokrasi dan cenderung saling lempar tanggung jawab untuk melayani kebutuhan konsumsi masyarakat perbatasan. Jika semua tidak bisa memperhatikan dan bersinggungan, maka serahkan kepada otoritas yang juga berwenang dan fokus ke sana,” tutupnya.
0 komentar:
Posting Komentar