Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa menyuarakan kekhawatirannya pada
Jumat di Jakarta mengenai kemungkinan meluasnya konflik etnis Rohingya
di Myanmar ke negara lain di kawasan Asia Tenggara.
"Persoalan konflik horizontal di Myanmar dapat berimplikasi ke kawasan sehingga persoalan tersebut membutuhkan pendekatan regional," kata Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar, Vijay Nambiar.
Diantara implikasi regional itu adalah bentrok antara pengungsi Rohingya dengan nelayan ilegal Myanmar yang terjadi di Medan pada Jumat dini hari yang menewaskan delapan orang dan melukai belasan lainnya.
Sebanyak 117 pengungsi Rohingya dan nelayan ilegal Myanmar ditampung di tempat yang sama, yaitu rumah detensi Belawan, sebuah kota pelabuhan di Provinsi Sumatera Utara.
The Associated Press, mengutip pernyataan dari kepolisian lokal, melaporkan bahwa insiden perkelahian itu dimulai ketika pengungsi Rohingya berdebat dengan para nelayan mengenai konflik sektarian di negara asal mereka.
Selain itu, persoalan regional lain yang muncul terkait dengan nasib pengungsi Rohingya yang membanjiri Bangladesh dan negara-negara Asia Tenggara.
Pengungsi-pengunsi tersebut pada umumnya tidak mendapatkan status kewarganegaraan di negara yang dituju. Bahkan dalam beberapa kasus mereka mati kelaparan di tengah laut seperti yang terjadi pada Februari lalu.
"Konflik di Rohingya oleh karena itu membutuhkan penyelesaian yang melibatkan pendekatan regional," kata Nambiar.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyatakan bahwa kondisi suatu negara yang tidak stabil dapat menjadi ancaman non tradisional bagi negara lain di kawasan yang sama.
Dengan demikian, ketidakstabilan yang terjadi di Myanmar akibat konflik horizontal dapat menjadi ancaman bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Indonesia.
"Pola ini secara prinsip juga berlaku bagi negara-negara di Asia Tenggara," kata Marty.
Di Myanmar sendiri, situasi masih memanas setelah terjadinya kerusuhan yang menewaskan 40 orang di kota praja Meikhtila pada pekan lalu.
"Persoalan konflik horizontal di Myanmar dapat berimplikasi ke kawasan sehingga persoalan tersebut membutuhkan pendekatan regional," kata Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar, Vijay Nambiar.
Diantara implikasi regional itu adalah bentrok antara pengungsi Rohingya dengan nelayan ilegal Myanmar yang terjadi di Medan pada Jumat dini hari yang menewaskan delapan orang dan melukai belasan lainnya.
Sebanyak 117 pengungsi Rohingya dan nelayan ilegal Myanmar ditampung di tempat yang sama, yaitu rumah detensi Belawan, sebuah kota pelabuhan di Provinsi Sumatera Utara.
The Associated Press, mengutip pernyataan dari kepolisian lokal, melaporkan bahwa insiden perkelahian itu dimulai ketika pengungsi Rohingya berdebat dengan para nelayan mengenai konflik sektarian di negara asal mereka.
Selain itu, persoalan regional lain yang muncul terkait dengan nasib pengungsi Rohingya yang membanjiri Bangladesh dan negara-negara Asia Tenggara.
Pengungsi-pengunsi tersebut pada umumnya tidak mendapatkan status kewarganegaraan di negara yang dituju. Bahkan dalam beberapa kasus mereka mati kelaparan di tengah laut seperti yang terjadi pada Februari lalu.
"Konflik di Rohingya oleh karena itu membutuhkan penyelesaian yang melibatkan pendekatan regional," kata Nambiar.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menyatakan bahwa kondisi suatu negara yang tidak stabil dapat menjadi ancaman non tradisional bagi negara lain di kawasan yang sama.
Dengan demikian, ketidakstabilan yang terjadi di Myanmar akibat konflik horizontal dapat menjadi ancaman bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Indonesia.
"Pola ini secara prinsip juga berlaku bagi negara-negara di Asia Tenggara," kata Marty.
Di Myanmar sendiri, situasi masih memanas setelah terjadinya kerusuhan yang menewaskan 40 orang di kota praja Meikhtila pada pekan lalu.
Sumber: Antara
0 komentar:
Posting Komentar