Jakarta - Pertemuan tingkat tinggi Menteri Luar Negeri se-Asia Tenggara bersama
Menlu China, Wang Yi yang digelar dalam kerangka Forum Regional ASEAN
plus pada awal Juli kemarin berakhir positif soal isu Laut China
Selatan. Dalam pertemuan yang digelar di Brunei Darussalam itu, China
dan negara anggota ASEAN sepakat melakukan konsultasi terkait masalah
tersebut.
Pertemuan konsultasi itu direncanakan akan berlangsung pada September mendatang di ibukota Beijing. Hal itu disampaikan Sektretaris Jenderal ASEAN, Le Luong Minh, saat ditemui VIVAnews, Senin 7 Juli 2013 di Gedung Sekjen ASEAN, Jakarta.
Le menyampaikan melalui pertemuan tingkat tinggi Menlu se ASEAN kemarin ada dua poin terkait isu Laut China Selatan yang disepakati.
"Pertama, baik ASEAN dan China akan memastikan bahwa implementasi dari deklarasi tata kelakuan baik (DOC) dilakukan secara menyeluruh dan poin kedua, kedua pihak akan menyepakati isi dari kode tata kelakukan baik (COC)," ungkap Le.
Hal serupa juga tertuang dalam pernyataan bersama Menlu se-ASEAN usai menghadiri pertemuan tiga hari sejak 30 Juni hingga 2 Juli kemarin di Brunei. Dalam pernyataan tertulis itu, semua negara anggota ASEAN sepakat dengan China untuk bertindak terkait isu LCS sesuai dengan implementasi DOC.
"Kami berharap melalui pertemuan yang digelar pada tingkat pejabat tinggi di Beijing nanti dapat diputuskan kesimpulan sementara soal COC agar stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan dapat tetap terjaga," tulis ke-10 Menlu.
Ini merupakan suatu kemajuan, karena dalam pertemuan tingkat tinggi ke-21 di Phnom Penh tahun 2012 silam, tidak mencapai kesepakatan apa pun untuk kali pertama soal sengketa lahan di LCS. Pemerintah China lebih memilih bernegosiasi mengenai konflik ini secara bilateral dengan negara yang bersengketa di kawasan tersebut.
Dalam pertemuan regional ASEAN yang digelar pada 30 Juni kemarin, turut hadir Menlu Amerika Serikat, John Kerry, yang bertemu dengan Menlu China. Kendati secara geografis, AS sangat jauh dari LCS, namun mereka mengklaim turut memiliki kepentingan di kawasan itu.
"Tujuan dari langkah kami tidak bermaksud untuk mencampuri atau mengimbangi pengaruh suatu negara," ungkap Kerry seperti dilansir stasiun berita Channel News Asia, awal Juli kemarin.
Menurut Kerry apabila terjadi peperangan di kawasan itu, maka dapat membahayakan alur perdagangan, karena LCS merupakan jalur penting perdagangan dunia. Isu LCS merupakan konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1940-an silam.
Kantor berita BBC, 15 Mei 2013 melansir konflik yang melibatkan beberapa negara ASEAN, Taiwan dan China ini bermula sengketa lahan dan kedaulatan kawasan laut dan darat yaitu Pulau Paracel dan Spratly. China sebagai salah satu negara yang ikut berkonflik, mengklaim teritori yang paling luas.
Bahkan mengakui daerah tersebut sudah menjadi wilayahnya sejak 2000 silam. Untuk mempertegas itu, mereka secara resmi mengeluarkan sebuah peta di tahun 1947 yang menjelaskan klaim lahan versi mereka.
Menurut para ahli, alasan banyak negara mengklaim wilayah itu, karena banyaknya sumber daya alam yang terbenam di sana. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka negara-negara anggota ASEAN dengan China sepakat membuat kode tata kelakuan baik di tahun 2002 silam.
Di bawah perjanjian itu, setiap negara yang telah sepakat harus menyelesaikan konflik mereka melalui jalur yang damai dan tanpa menggunakan tindak kekerasan.
Pertemuan konsultasi itu direncanakan akan berlangsung pada September mendatang di ibukota Beijing. Hal itu disampaikan Sektretaris Jenderal ASEAN, Le Luong Minh, saat ditemui VIVAnews, Senin 7 Juli 2013 di Gedung Sekjen ASEAN, Jakarta.
Le menyampaikan melalui pertemuan tingkat tinggi Menlu se ASEAN kemarin ada dua poin terkait isu Laut China Selatan yang disepakati.
"Pertama, baik ASEAN dan China akan memastikan bahwa implementasi dari deklarasi tata kelakuan baik (DOC) dilakukan secara menyeluruh dan poin kedua, kedua pihak akan menyepakati isi dari kode tata kelakukan baik (COC)," ungkap Le.
Hal serupa juga tertuang dalam pernyataan bersama Menlu se-ASEAN usai menghadiri pertemuan tiga hari sejak 30 Juni hingga 2 Juli kemarin di Brunei. Dalam pernyataan tertulis itu, semua negara anggota ASEAN sepakat dengan China untuk bertindak terkait isu LCS sesuai dengan implementasi DOC.
"Kami berharap melalui pertemuan yang digelar pada tingkat pejabat tinggi di Beijing nanti dapat diputuskan kesimpulan sementara soal COC agar stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan dapat tetap terjaga," tulis ke-10 Menlu.
Ini merupakan suatu kemajuan, karena dalam pertemuan tingkat tinggi ke-21 di Phnom Penh tahun 2012 silam, tidak mencapai kesepakatan apa pun untuk kali pertama soal sengketa lahan di LCS. Pemerintah China lebih memilih bernegosiasi mengenai konflik ini secara bilateral dengan negara yang bersengketa di kawasan tersebut.
Dalam pertemuan regional ASEAN yang digelar pada 30 Juni kemarin, turut hadir Menlu Amerika Serikat, John Kerry, yang bertemu dengan Menlu China. Kendati secara geografis, AS sangat jauh dari LCS, namun mereka mengklaim turut memiliki kepentingan di kawasan itu.
"Tujuan dari langkah kami tidak bermaksud untuk mencampuri atau mengimbangi pengaruh suatu negara," ungkap Kerry seperti dilansir stasiun berita Channel News Asia, awal Juli kemarin.
Menurut Kerry apabila terjadi peperangan di kawasan itu, maka dapat membahayakan alur perdagangan, karena LCS merupakan jalur penting perdagangan dunia. Isu LCS merupakan konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1940-an silam.
Kantor berita BBC, 15 Mei 2013 melansir konflik yang melibatkan beberapa negara ASEAN, Taiwan dan China ini bermula sengketa lahan dan kedaulatan kawasan laut dan darat yaitu Pulau Paracel dan Spratly. China sebagai salah satu negara yang ikut berkonflik, mengklaim teritori yang paling luas.
Bahkan mengakui daerah tersebut sudah menjadi wilayahnya sejak 2000 silam. Untuk mempertegas itu, mereka secara resmi mengeluarkan sebuah peta di tahun 1947 yang menjelaskan klaim lahan versi mereka.
Menurut para ahli, alasan banyak negara mengklaim wilayah itu, karena banyaknya sumber daya alam yang terbenam di sana. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka negara-negara anggota ASEAN dengan China sepakat membuat kode tata kelakuan baik di tahun 2002 silam.
Di bawah perjanjian itu, setiap negara yang telah sepakat harus menyelesaikan konflik mereka melalui jalur yang damai dan tanpa menggunakan tindak kekerasan.
Sumber: Vivanews
0 komentar:
Posting Komentar