Pemerintah Malaysia akan memberlakukan pengawasan dengan ketat bagi
para pedagang barter di Negara Bagian Sabah sebagai buntut konflik
bersenjata antara pasukan Malaysia dengan kelompok bersenjata pengikut
Kesultanan Sulu di wilayah itu. Sementara khusus bagi pedagang barter
dari Filipina dan warga asing lainnya diminta untuk mengajukan paspor
jika ingin memasuki Sabah dan Wilayah Labuan.
"Mulai 15 April semua awak kapal pedagang barter atau kapal barang
akan diminta untuk membuat dokumen perjalanan yang sah seperti paspor
internasional atau surat izin bagi pelaut di semua pintu masuk pelabuhan
di Sabah. Kartu Identitas Pelaut (SIC) tidak akan dikeluarkan kepada
awak kapal pedagang jika tidak bisa menunjukkan dokumen perjalanan yang
sah," kata Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman, seperti dilansir
surat kabar the Philippine Star, Senin (1/4).
Dia juga menjelaskan mulai 2 April mendatang masalah Bea Cukai dan
Keimigrasian Karantina (CIQ) permanen akan dioperasikan di pelabuhan di
Kota Kudat, Kota Lahad Datu, serta di kantor keimigrasian di Pulau
Banggi. Semua prosedur keimigrasian dan bea cukai ini akan dilaksanakan
di setiap titik.
"Pihak kedutaan berharap setiap pedagang barter dan semua pihak yang
terkait agar mematuhi peraturan baru itu, sebaliknya aktivitas mereka
mungkin akan terganggu jika pemerintah Malaysia menemukan adanya
pelanggaran," kata Konsulat Jenderal Medardo Macaraig.
Di bawah peraturan baru ini, para pedagang barter hanya akan
diizinkan berada di Sabah dan Labuan maksimal tujuh hari tanpa ada
perpanjangan. Setiap awak juga dilarang pindah ke perahu lain sampai
mereka kembali ke negara asal mereka.
Sebelumnya, SIC dikeluarkan ke masing-masing perorangan selama mereka
puas dengan persyaratan yang berlaku, termasuk sertifikat pemeriksaan
medis yang sah dan membayar Rp 156 ribu.
Di Sabah, tiga pelabuhan yang mengizinkan adanya sistem perdagangan
barter adalah di Sandakan, Tawau, Kudat, serta satu pelabuhan di wilayah
federal Labuan. Tahun lalu jumlah pedagang barter yang mendapat SIC
mencapai 18.388 orang dengan jumlah kapal 1.768.
Setiap kapten kapal yang ketahuan melanggar peraturan ini akan
mendapat hukuman penjara di atas lima tahun atau membayar denda sekitar
Rp 156 juta,di bawah Undang-Undang Imigrasi Malaysia 1959/63 Bab 55 A.
Mereka juga dapat dikenakan hukuman di bawah Undang-Undang Imgrasi
Anti-Penyelundupan dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara atau denda
Rp 1,5 miliar serta masuk dalam daftar hitam.
Para awak kapal juga bisa dikenakan hukuman di bawah Undang-Undang
Imgrasi Bab 6 (1) (c), di mana jika kurangnya dokumen yang sah saat
memasuki Malaysia, maka akan dapat dihukum lima tahun penjara atau denda
Rp 31 juta.
Sumber: Merdeka.Com
Sumber: Merdeka.Com
0 komentar:
Posting Komentar