Jakarta: Konflik Laut China Selatan yang tak kunjung
padam turut mengundang keprihatinan tokoh-tokoh negara Asia Pasifik dari
berbagai kalangan yang tergabung dalam organisasi Centrist Asia Pacific
Democrats International (CAPDI), dan memicu mereka untuk ikut bekerja
membantu pemeirntah dalam hal ini. Dalam Konferensi CAPDI kedua yang
digelar di Makassar, rekonsiliasi konflik Laut China Selatan menjadi
salah satu pembahasan.
Presiden of Asembly CAPDI yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Makarim Wibisono, menuturkan persengketaan di Laut China Selatan tidak bisa dibiarkan lebih lama.
"Ada pemikiran dibentuk semacam kelompok kerja yang membuat sebuah instrumen, di mana negara-negara yang terlibat konflik itu bersama-sama menandatangani instrumen itu. Intrumen tersebut juga harus menegaskan bahwa negara-negara tersebut bersedia untuk tidak penggunaan kekerasan," ungkapnya di Makassar, Rabu (22/5).
Pembentukan kelompok kerja tersebut akan melengkapi Traktat Kerja Sama dan Persahabatan (TAC) pada 1976 yang menekankan prosedur upaya perdamaian tanpa senjata. "Berdasarkan sejarah hukum internasional sudah ada ketentuan bahwa penggunaan kekerasan senjata untuk tujuan politik itu tidak sah secara hukum," kata Makarim.
Mantan Juru Bicara Parlemen Filipina yang juga pendiri CAPDI, Jose de Venecia mengatakan, semua pemangku kepentingan dalam penyelesaian konflik ini harus ambil bagian. Mantan Presiden Filipina, Fidel Ramos, menyebut bahwa negara-negara Asia Tenggara yang terlibat persengketaan Laut China Selatan hingga mengalami ketegangan satu sama lainnya harus mau berdialog sebelum mengambil keputusan yang keras.
Konflik Taiwan dan Filipina yang belakangan ini memanas akibat tewasnya nelayan Taiwan karena ditembak penjaga pantai Filipina di wilayah perairan sengketa misalnya, harusnya diselesaikan dengan damai melalui dialog. "Taiwan dan Filipina sudah bekerja sama sekian lama dan sesama negara ASEAN, harusnya bisa berbicara," katanya.
Presiden of Asembly CAPDI yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Makarim Wibisono, menuturkan persengketaan di Laut China Selatan tidak bisa dibiarkan lebih lama.
"Ada pemikiran dibentuk semacam kelompok kerja yang membuat sebuah instrumen, di mana negara-negara yang terlibat konflik itu bersama-sama menandatangani instrumen itu. Intrumen tersebut juga harus menegaskan bahwa negara-negara tersebut bersedia untuk tidak penggunaan kekerasan," ungkapnya di Makassar, Rabu (22/5).
Pembentukan kelompok kerja tersebut akan melengkapi Traktat Kerja Sama dan Persahabatan (TAC) pada 1976 yang menekankan prosedur upaya perdamaian tanpa senjata. "Berdasarkan sejarah hukum internasional sudah ada ketentuan bahwa penggunaan kekerasan senjata untuk tujuan politik itu tidak sah secara hukum," kata Makarim.
Mantan Juru Bicara Parlemen Filipina yang juga pendiri CAPDI, Jose de Venecia mengatakan, semua pemangku kepentingan dalam penyelesaian konflik ini harus ambil bagian. Mantan Presiden Filipina, Fidel Ramos, menyebut bahwa negara-negara Asia Tenggara yang terlibat persengketaan Laut China Selatan hingga mengalami ketegangan satu sama lainnya harus mau berdialog sebelum mengambil keputusan yang keras.
Konflik Taiwan dan Filipina yang belakangan ini memanas akibat tewasnya nelayan Taiwan karena ditembak penjaga pantai Filipina di wilayah perairan sengketa misalnya, harusnya diselesaikan dengan damai melalui dialog. "Taiwan dan Filipina sudah bekerja sama sekian lama dan sesama negara ASEAN, harusnya bisa berbicara," katanya.
Sumber: Metronews
0 komentar:
Posting Komentar