JAKARTA - Indonesia ingin mempunyai armada tempur udara
yang kuat. Namun, bukan berarti sembarangan memilih pesawat. Karena
itu, TNI Angkatan Udara menyatakan menolak tawaran hibah pesawat tempur
F-5 Tiger dari Korea Selatan lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan.
"Betul, kami menolak tawaran hibah karena spesifikasi pesawat F-5 milik Korea Selatan berbeda dengan yang sudah dimiliki Indonesia," ujar Kadispenau Marsekal Pertama Supriyadi, Minggu (14/7). Menurut dia, pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan maupun avioniknya. Sedangkan, pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi.
"Perbedaan spesifikasi ini justru menjadi beban di biaya perawatannya. Kalau bisa kami diberi pesawat yang sama dengan yang kami punya," katanya. TNI AU telah menyampaikan kajian itu kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Secara terpisah, staf ahli Menteri Pertahanan Mayjen Hartind Asrin menilai sikap TNI AU wajar dan sedang dipertimbangkan. "Kami tentu akan mendengarkan masukan dari pengguna. Kalau tawaran itu tidak cocok tentu saja kita tolak," katanya.
Penolakan tentu dilakukan secara prosedural. "Tidak akan mengganggu hubungan diplomatik dua negara," kata mantan atase KBRI Malaysia itu.
Peneliti pertahanan, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah lebih baik membeli pesawat hercules yang baru daripada menerima hibah. Sebab, pemberian hibah itu justru merugikan pemerintah.
"Kalau saya menilainya pemerintah harusnya membeli saja, jangan menerima hibah tersebut," katanya. Sebab, kata dia hibah pesawat itu justru akan menelan banyak anggaran. Misalnya, untuk membawanya ke Indonesia, diperlukan biaya yang tidak sedikit juga anggaran perbaikannya.
Peneliti militer LIPI yang akrab disapa Dani ini menilai, pemberian hibah ini menurutnya harus dipelajari benar-benar oleh pemerintah dan harus hati-hati. Karena ini, jelas Jelaswari bukan hanya persoalan anggaran tapi, juga pemerintah harus menilai kondisi dan kegunaan pesawat itu sendiri.
"Pemberian hibah itu juga membuat anggaran membengkak. Harus dicek dulu kondisinya," katanya.
Menurut Dani, pemerintah harus tegas dalam memutuskan kebijakan strategis terkait alutsista. " Ini menyangkut urusan yang sangat vital, yakni keamanan dan ketahanan negara," katanya.
"Betul, kami menolak tawaran hibah karena spesifikasi pesawat F-5 milik Korea Selatan berbeda dengan yang sudah dimiliki Indonesia," ujar Kadispenau Marsekal Pertama Supriyadi, Minggu (14/7). Menurut dia, pesawat F-5 milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan maupun avioniknya. Sedangkan, pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi.
"Perbedaan spesifikasi ini justru menjadi beban di biaya perawatannya. Kalau bisa kami diberi pesawat yang sama dengan yang kami punya," katanya. TNI AU telah menyampaikan kajian itu kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Secara terpisah, staf ahli Menteri Pertahanan Mayjen Hartind Asrin menilai sikap TNI AU wajar dan sedang dipertimbangkan. "Kami tentu akan mendengarkan masukan dari pengguna. Kalau tawaran itu tidak cocok tentu saja kita tolak," katanya.
Penolakan tentu dilakukan secara prosedural. "Tidak akan mengganggu hubungan diplomatik dua negara," kata mantan atase KBRI Malaysia itu.
Peneliti pertahanan, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah lebih baik membeli pesawat hercules yang baru daripada menerima hibah. Sebab, pemberian hibah itu justru merugikan pemerintah.
"Kalau saya menilainya pemerintah harusnya membeli saja, jangan menerima hibah tersebut," katanya. Sebab, kata dia hibah pesawat itu justru akan menelan banyak anggaran. Misalnya, untuk membawanya ke Indonesia, diperlukan biaya yang tidak sedikit juga anggaran perbaikannya.
Peneliti militer LIPI yang akrab disapa Dani ini menilai, pemberian hibah ini menurutnya harus dipelajari benar-benar oleh pemerintah dan harus hati-hati. Karena ini, jelas Jelaswari bukan hanya persoalan anggaran tapi, juga pemerintah harus menilai kondisi dan kegunaan pesawat itu sendiri.
"Pemberian hibah itu juga membuat anggaran membengkak. Harus dicek dulu kondisinya," katanya.
Menurut Dani, pemerintah harus tegas dalam memutuskan kebijakan strategis terkait alutsista. " Ini menyangkut urusan yang sangat vital, yakni keamanan dan ketahanan negara," katanya.
Sumber: JPNN.COM
0 komentar:
Posting Komentar