Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan negara satu-satunya di dunia yang tidak mempunyai satelit untuk militer, karena harus mendapat persetujuan dari Amerika Serikat, yang prosesnya cukup rumit.
Demikian pula, pesawat sukhoi yang dibeli dari Rusia pun ternyata juga tidak ada amunisianya. Kerjasama militer dengan Korea Selatan sudah menhabiskan dana Rp 380 miliar, tapi sampai saat ini tidak ada kelanjutannya, dan F-16 tanpa radar.
"Karena itu, kuat tidaknya TNI kita tergantung Presiden Jokowi dan dukngan APBN membangun kekuatan," tegas anggota Komisi I DPR RI Syaifullah Tamliha dalam dialektika demokrasi ‘Hercules dan Tantangan Panglima TNI Baru’ bersama anggota Komisi I DPR RI FPDIP Effendi Simbolon, Alimin Abdullah, dan pengamat militer Susaningtiyas Nefo Handayani Kertopati, di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Tamliha mengungkapkan lemahnya TNI, seperti kasus helikopter Malaysia yang mendarat di Sebatik dibiarkan. Hercules jatuh dan kerjasama dengan Korea Selatan dihentikan meski telah menghabiskan uang Rp 380 miliar.
"Ini menunjukkan bahwa TNI kita memang lemah. Karena itu, harus diperkuat dengan menaikkan anggaran Alusista (alat utama sistem persenjataan). Dari anggaran Rp 105 triliun (Kemenhan-APBN 2015) menjadi Rp 200 triliun untuk APBN 2016,” tegas Tamliha.
Hanya saja kata Tamliha, ketika berbicara TNI dan Alusista, Presiden Jokowi masih koma, belum titik. “Seharusnya berani langsung menyatakan akan menambah anggaran Alusista TNI. Padahal, banyak menteri yang mengajukan program dengan anggaran sangat besar, tapi tidak disesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah. Itu penting, karena kekuatan amunisi kita hanya untuk perang selama 2 hari. Sedangkan Malaysia 9 hari dan Singapura 14 hari,” ujar politisi PPP asal Kalimantan Selatan itu.
Tapi, dia optimis dengan Gatot Nurmantiyo sebagai calon Panglima TNI yang sudah disetujui Komisi I DPR RI ternyata merupakan sosok yang mempunyai pengalaman, intelektual, keberanian dan pemahaman tentang ancaman negara termasuk proxcyber yang bagus. Baik ancaman di tingkat dunia, Asia, Asean dan Indonesia sendiri, serta memahami konstitusi.
“Bahkan Pak Gatot itu berbicara TNI sampai 50 tahun ke depan. Yaitu dari konflik laut Tiongkok-China Selatan, perbatasan dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Papua Neugini dan Australia,” tambahnya.
Dengan demikian Tamliha berharap TNI itu menjadi nomenklatur - kementerian tersendiri dan bukannya di bawah Kemenhan RI. Sebab, anggaran yang Rp 105 triliun itu masih dibagi-bagi untuk angkatan laut, udara, darat, dan kementerian pertahanan sendiri.
“Jadi, Presiden Jokowi harus bisa memprioritaskan, mana yang lebih urgen; udara, laut, dan darat?” katanya.
Sumber: Pikiran Rakyat
0 komentar:
Posting Komentar